Try Out SNBT 2025 Literasi Bahasa Indonesia 6

25

Try Out SNBT 2025 Literasi Bahasa Indonesia 6

Ada 10 soal dengan waktu 15 menit. Kerjakan dengan jujur karena ini bagian dari evaluasi.

The number of attempts remaining is 3

Isi dulu data diri yaah

1 / 11

Adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikan sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian Negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.

Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 UU PTPK, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik (oleh Hakim) atau aparat penegak hukum lainnya, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat” merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” tidalah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional).

Karena itu, kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan MK yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Dan pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut, dapat pula diketahui bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian.
1. Pernyataan ini yang tidak sesuai dengan bacaan diatas adalah …

2 / 11

Adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikan sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian Negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.

Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 UU PTPK, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik (oleh Hakim) atau aparat penegak hukum lainnya, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat” merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” tidalah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional).

Karena itu, kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan MK yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Dan pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut, dapat pula diketahui bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian.
2. Hal yang dapat disimpulkan dari bacaan diatas adalah …

3 / 11

Adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikan sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian Negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.

Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 UU PTPK, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik (oleh Hakim) atau aparat penegak hukum lainnya, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat” merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” tidalah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional).

Karena itu, kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan MK yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Dan pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut, dapat pula diketahui bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian.
3. Istilah konstitusionalitas pada bacaan diatas memiliki pengertian dengan …

4 / 11

Adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikan sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian Negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.

Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 UU PTPK, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik (oleh Hakim) atau aparat penegak hukum lainnya, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat” merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” tidalah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional).

Karena itu, kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan MK yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Dan pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut, dapat pula diketahui bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian.
4. Istilah mengualifikasikan pada bacaan diatas berlawanan dengan kata …

5 / 11

Adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikan sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian Negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.

Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 UU PTPK, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik (oleh Hakim) atau aparat penegak hukum lainnya, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat” merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” tidalah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional).

Karena itu, kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan MK yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Dan pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut, dapat pula diketahui bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian.
4. Istilah mengualifikasikan pada bacaan diatas berlawanan dengan kata …

6 / 11

Adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”, kemudian mengkualifikasikan sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian Negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.

Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 UU PTPK, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik (oleh Hakim) atau aparat penegak hukum lainnya, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa frasa “dapat” merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara” tidalah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional).

Karena itu, kata “dapat” sebagaimana uraian pertimbangan MK yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Dan pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut, dapat pula diketahui bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian.
5. Pikiran utama pada paragraf 2 adalah …

7 / 11

BACAAN 2
Nama besar Bacharuddin Jusuf Habibie di dunia teknologi (khususnya kedirgantaraan) sudah tidak bisa diragukan lagi, baik di dalam maupun di luar negeri. Maklum, rekam jejak Presiden RI Ketiga ini di teknologi dirgantara mendapatkan apresiasi yang sangat besar di dunia internasional. Wajar jika sosok yang juga dikenal sebagai “Manusia Multidimensional” pernah dianugerahi medali penghargaan Theodore van Karman. Sebuah anugerah bergengsi di tingkat internasional tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.

Nama Habibie begitu dikenal di Jerman sebelum kembali ke Indonesia dan mempunyai peran besar dalam membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) di masa keemasannya. Kini, IPTN yang bernama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) seakan nyaris tak terdengar kehebatannya. Di industri dirgantara dunia, Habibie dikenal sebagai Mr Crack, karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang. Tak heran di dunia pesawat terbang, beberapa rumusan teori Habibie dikenal dengan sebutan “Habibie Factor”, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method”.

Karena sumbangsih Habibie, para insinyur dan produsen pesawat bisa mendeteksi retakan (crack) sejak dini dengan penentuan titik crack. Sebelum titik crack ditemukan, para insinyur mengantisipasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatan (SF). Habibie Factor berperan besar dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Dengan begitu, sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun. Sejumlah teori Habibie di bidang kedirgantaraan menjadi satu bukti bahwa dirinya adalah ilmuwan dirgantara yang berjasa dalam pengembangan dan desain pesawat. Karena itu, pada peringatan Tahun Emas (Golden Jubilee) berdirinya Organisasi Penerbangan Sipil bentukan PBB (The International Civil Aviation Organization/ ICAO) di Montreal, Kanada, pada 7 Desember 1994, Habibie dianugerahi medali Edward Warner Award yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang didampingi Sekretaris Jenderal PBB saat itu Boutros Boutros Ghali. “Ini membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China,” tegas Habibie dalam pidatonya.

Sosok yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun itu (1978–1998) pernah berkarier Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Di perusahaan ini Habibie pernah menduduki posisi wakil presiden bidang teknologi. Pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 25 Juni 1936 ini menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman itu.

Pada 1974 saat berusia 38 tahun, pria yang menghabiskan 10 tahun menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman ini kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto. Saat mengembangkan industri dirgantara nasional, Habibie menciptakan N-250 yang terbang perdana (first flight) pada 1995 dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Sayangnya, setelah krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998, pengembangan pesawat N-250 mati suri.

Saat krisi suntikan dana proyek pesawat Gatotkaca N-250 besutan PTDI dihentikan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF). Sejak itu, industri dirgantara Indonesia tiarap. Padahal, saat pesawat N-250 diluncurkan pertama kali pada 10 Agustus 1995 silam, hal itu menjadi penanda dimulainya kejayaan industri pesawat terbang di Tanah Air. Saat itu, IPTN menjadi satu satunya produsen pesawat terbang yang berada di kawasan ASEAN. “Produk pesawat terbang, produk kapal laut, dan produk kereta api–yang pernah kita rancang bangun–dalam euforia reformasi telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedang dalam proses penutupan,” tegas Habibie.

Maka, pada 2012 silam, pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, ini tergugah untuk menghidupkan kembali pengembangan N-250 sebagai bentuk optimisme baru bagi bangkitnya industri dirgantara buatan anak bangsa. Rencananya, pesawat regional komuter turboprop itu akan didesain ulang. Gagasan tersebut tercetus karena mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi di era Presiden Soeharto ini prihatin menyaksikan PT DI mangkrak setelah krisis 1998.

Padahal, kemampuan anak bangsa menciptakan pesawat terbang bukan isapan jempol belaka. “Banyak pesawat yang harusnya dalam perakitan di hanggar PT DI, tapi faktanya terkesan mangkrak. Perusahaan negara pembuat pesawat ini sunyi, tak banyak aktivitas meski hari kerja,” kata Habibie saat pada acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) di Gedung Sate Bandung, Agustus 2012 silam. (Sumber : Koran Sindo, 13 Januari 2014, disesuaikan seperlunya)
6. Pernyataan yang tidak sesuai dengan bacaan di atas adalah …….

8 / 11

BACAAN 2
Nama besar Bacharuddin Jusuf Habibie di dunia teknologi (khususnya kedirgantaraan) sudah tidak bisa diragukan lagi, baik di dalam maupun di luar negeri. Maklum, rekam jejak Presiden RI Ketiga ini di teknologi dirgantara mendapatkan apresiasi yang sangat besar di dunia internasional. Wajar jika sosok yang juga dikenal sebagai “Manusia Multidimensional” pernah dianugerahi medali penghargaan Theodore van Karman. Sebuah anugerah bergengsi di tingkat internasional tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.

Nama Habibie begitu dikenal di Jerman sebelum kembali ke Indonesia dan mempunyai peran besar dalam membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) di masa keemasannya. Kini, IPTN yang bernama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) seakan nyaris tak terdengar kehebatannya. Di industri dirgantara dunia, Habibie dikenal sebagai Mr Crack, karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang. Tak heran di dunia pesawat terbang, beberapa rumusan teori Habibie dikenal dengan sebutan “Habibie Factor”, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method”.

Karena sumbangsih Habibie, para insinyur dan produsen pesawat bisa mendeteksi retakan (crack) sejak dini dengan penentuan titik crack. Sebelum titik crack ditemukan, para insinyur mengantisipasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatan (SF). Habibie Factor berperan besar dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Dengan begitu, sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun. Sejumlah teori Habibie di bidang kedirgantaraan menjadi satu bukti bahwa dirinya adalah ilmuwan dirgantara yang berjasa dalam pengembangan dan desain pesawat. Karena itu, pada peringatan Tahun Emas (Golden Jubilee) berdirinya Organisasi Penerbangan Sipil bentukan PBB (The International Civil Aviation Organization/ ICAO) di Montreal, Kanada, pada 7 Desember 1994, Habibie dianugerahi medali Edward Warner Award yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang didampingi Sekretaris Jenderal PBB saat itu Boutros Boutros Ghali. “Ini membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China,” tegas Habibie dalam pidatonya.

Sosok yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun itu (1978–1998) pernah berkarier Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Di perusahaan ini Habibie pernah menduduki posisi wakil presiden bidang teknologi. Pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 25 Juni 1936 ini menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman itu.

Pada 1974 saat berusia 38 tahun, pria yang menghabiskan 10 tahun menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman ini kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto. Saat mengembangkan industri dirgantara nasional, Habibie menciptakan N-250 yang terbang perdana (first flight) pada 1995 dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Sayangnya, setelah krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998, pengembangan pesawat N-250 mati suri.

Saat krisi suntikan dana proyek pesawat Gatotkaca N-250 besutan PTDI dihentikan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF). Sejak itu, industri dirgantara Indonesia tiarap. Padahal, saat pesawat N-250 diluncurkan pertama kali pada 10 Agustus 1995 silam, hal itu menjadi penanda dimulainya kejayaan industri pesawat terbang di Tanah Air. Saat itu, IPTN menjadi satu satunya produsen pesawat terbang yang berada di kawasan ASEAN. “Produk pesawat terbang, produk kapal laut, dan produk kereta api–yang pernah kita rancang bangun–dalam euforia reformasi telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedang dalam proses penutupan,” tegas Habibie.

Maka, pada 2012 silam, pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, ini tergugah untuk menghidupkan kembali pengembangan N-250 sebagai bentuk optimisme baru bagi bangkitnya industri dirgantara buatan anak bangsa. Rencananya, pesawat regional komuter turboprop itu akan didesain ulang. Gagasan tersebut tercetus karena mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi di era Presiden Soeharto ini prihatin menyaksikan PT DI mangkrak setelah krisis 1998.

Padahal, kemampuan anak bangsa menciptakan pesawat terbang bukan isapan jempol belaka. “Banyak pesawat yang harusnya dalam perakitan di hanggar PT DI, tapi faktanya terkesan mangkrak. Perusahaan negara pembuat pesawat ini sunyi, tak banyak aktivitas meski hari kerja,” kata Habibie saat pada acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) di Gedung Sate Bandung, Agustus 2012 silam. (Sumber : Koran Sindo, 13 Januari 2014, disesuaikan seperlunya)
7. Fakta tentang Habibie sesuai dengan bacaan di atas adalah …..

9 / 11

BACAAN 2
Nama besar Bacharuddin Jusuf Habibie di dunia teknologi (khususnya kedirgantaraan) sudah tidak bisa diragukan lagi, baik di dalam maupun di luar negeri. Maklum, rekam jejak Presiden RI Ketiga ini di teknologi dirgantara mendapatkan apresiasi yang sangat besar di dunia internasional. Wajar jika sosok yang juga dikenal sebagai “Manusia Multidimensional” pernah dianugerahi medali penghargaan Theodore van Karman. Sebuah anugerah bergengsi di tingkat internasional tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.

Nama Habibie begitu dikenal di Jerman sebelum kembali ke Indonesia dan mempunyai peran besar dalam membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) di masa keemasannya. Kini, IPTN yang bernama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) seakan nyaris tak terdengar kehebatannya. Di industri dirgantara dunia, Habibie dikenal sebagai Mr Crack, karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang. Tak heran di dunia pesawat terbang, beberapa rumusan teori Habibie dikenal dengan sebutan “Habibie Factor”, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method”.

Karena sumbangsih Habibie, para insinyur dan produsen pesawat bisa mendeteksi retakan (crack) sejak dini dengan penentuan titik crack. Sebelum titik crack ditemukan, para insinyur mengantisipasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatan (SF). Habibie Factor berperan besar dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Dengan begitu, sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun. Sejumlah teori Habibie di bidang kedirgantaraan menjadi satu bukti bahwa dirinya adalah ilmuwan dirgantara yang berjasa dalam pengembangan dan desain pesawat. Karena itu, pada peringatan Tahun Emas (Golden Jubilee) berdirinya Organisasi Penerbangan Sipil bentukan PBB (The International Civil Aviation Organization/ ICAO) di Montreal, Kanada, pada 7 Desember 1994, Habibie dianugerahi medali Edward Warner Award yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang didampingi Sekretaris Jenderal PBB saat itu Boutros Boutros Ghali. “Ini membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China,” tegas Habibie dalam pidatonya.

Sosok yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun itu (1978–1998) pernah berkarier Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Di perusahaan ini Habibie pernah menduduki posisi wakil presiden bidang teknologi. Pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 25 Juni 1936 ini menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman itu.

Pada 1974 saat berusia 38 tahun, pria yang menghabiskan 10 tahun menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman ini kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto. Saat mengembangkan industri dirgantara nasional, Habibie menciptakan N-250 yang terbang perdana (first flight) pada 1995 dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Sayangnya, setelah krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998, pengembangan pesawat N-250 mati suri.

Saat krisi suntikan dana proyek pesawat Gatotkaca N-250 besutan PTDI dihentikan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF). Sejak itu, industri dirgantara Indonesia tiarap. Padahal, saat pesawat N-250 diluncurkan pertama kali pada 10 Agustus 1995 silam, hal itu menjadi penanda dimulainya kejayaan industri pesawat terbang di Tanah Air. Saat itu, IPTN menjadi satu satunya produsen pesawat terbang yang berada di kawasan ASEAN. “Produk pesawat terbang, produk kapal laut, dan produk kereta api–yang pernah kita rancang bangun–dalam euforia reformasi telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedang dalam proses penutupan,” tegas Habibie.

Maka, pada 2012 silam, pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, ini tergugah untuk menghidupkan kembali pengembangan N-250 sebagai bentuk optimisme baru bagi bangkitnya industri dirgantara buatan anak bangsa. Rencananya, pesawat regional komuter turboprop itu akan didesain ulang. Gagasan tersebut tercetus karena mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi di era Presiden Soeharto ini prihatin menyaksikan PT DI mangkrak setelah krisis 1998.

Padahal, kemampuan anak bangsa menciptakan pesawat terbang bukan isapan jempol belaka. “Banyak pesawat yang harusnya dalam perakitan di hanggar PT DI, tapi faktanya terkesan mangkrak. Perusahaan negara pembuat pesawat ini sunyi, tak banyak aktivitas meski hari kerja,” kata Habibie saat pada acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) di Gedung Sate Bandung, Agustus 2012 silam. (Sumber : Koran Sindo, 13 Januari 2014, disesuaikan seperlunya)
8. Apa yang dilakukan Habibie selanjutnya untuk industri penerbangan Indonesia ……

10 / 11

BACAAN 2
Nama besar Bacharuddin Jusuf Habibie di dunia teknologi (khususnya kedirgantaraan) sudah tidak bisa diragukan lagi, baik di dalam maupun di luar negeri. Maklum, rekam jejak Presiden RI Ketiga ini di teknologi dirgantara mendapatkan apresiasi yang sangat besar di dunia internasional. Wajar jika sosok yang juga dikenal sebagai “Manusia Multidimensional” pernah dianugerahi medali penghargaan Theodore van Karman. Sebuah anugerah bergengsi di tingkat internasional tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.

Nama Habibie begitu dikenal di Jerman sebelum kembali ke Indonesia dan mempunyai peran besar dalam membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) di masa keemasannya. Kini, IPTN yang bernama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) seakan nyaris tak terdengar kehebatannya. Di industri dirgantara dunia, Habibie dikenal sebagai Mr Crack, karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang. Tak heran di dunia pesawat terbang, beberapa rumusan teori Habibie dikenal dengan sebutan “Habibie Factor”, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method”.

Karena sumbangsih Habibie, para insinyur dan produsen pesawat bisa mendeteksi retakan (crack) sejak dini dengan penentuan titik crack. Sebelum titik crack ditemukan, para insinyur mengantisipasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatan (SF). Habibie Factor berperan besar dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Dengan begitu, sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun. Sejumlah teori Habibie di bidang kedirgantaraan menjadi satu bukti bahwa dirinya adalah ilmuwan dirgantara yang berjasa dalam pengembangan dan desain pesawat. Karena itu, pada peringatan Tahun Emas (Golden Jubilee) berdirinya Organisasi Penerbangan Sipil bentukan PBB (The International Civil Aviation Organization/ ICAO) di Montreal, Kanada, pada 7 Desember 1994, Habibie dianugerahi medali Edward Warner Award yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang didampingi Sekretaris Jenderal PBB saat itu Boutros Boutros Ghali. “Ini membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China,” tegas Habibie dalam pidatonya.

Sosok yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun itu (1978–1998) pernah berkarier Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Di perusahaan ini Habibie pernah menduduki posisi wakil presiden bidang teknologi. Pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 25 Juni 1936 ini menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman itu.

Pada 1974 saat berusia 38 tahun, pria yang menghabiskan 10 tahun menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman ini kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto. Saat mengembangkan industri dirgantara nasional, Habibie menciptakan N-250 yang terbang perdana (first flight) pada 1995 dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Sayangnya, setelah krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998, pengembangan pesawat N-250 mati suri.

Saat krisi suntikan dana proyek pesawat Gatotkaca N-250 besutan PTDI dihentikan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF). Sejak itu, industri dirgantara Indonesia tiarap. Padahal, saat pesawat N-250 diluncurkan pertama kali pada 10 Agustus 1995 silam, hal itu menjadi penanda dimulainya kejayaan industri pesawat terbang di Tanah Air. Saat itu, IPTN menjadi satu satunya produsen pesawat terbang yang berada di kawasan ASEAN. “Produk pesawat terbang, produk kapal laut, dan produk kereta api–yang pernah kita rancang bangun–dalam euforia reformasi telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedang dalam proses penutupan,” tegas Habibie.

Maka, pada 2012 silam, pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, ini tergugah untuk menghidupkan kembali pengembangan N-250 sebagai bentuk optimisme baru bagi bangkitnya industri dirgantara buatan anak bangsa. Rencananya, pesawat regional komuter turboprop itu akan didesain ulang. Gagasan tersebut tercetus karena mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi di era Presiden Soeharto ini prihatin menyaksikan PT DI mangkrak setelah krisis 1998.

Padahal, kemampuan anak bangsa menciptakan pesawat terbang bukan isapan jempol belaka. “Banyak pesawat yang harusnya dalam perakitan di hanggar PT DI, tapi faktanya terkesan mangkrak. Perusahaan negara pembuat pesawat ini sunyi, tak banyak aktivitas meski hari kerja,” kata Habibie saat pada acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) di Gedung Sate Bandung, Agustus 2012 silam. (Sumber : Koran Sindo, 13 Januari 2014, disesuaikan seperlunya)
9. Tema yang sesuai dengan bacaan di atas adalah ……..

11 / 11

BACAAN 2
Nama besar Bacharuddin Jusuf Habibie di dunia teknologi (khususnya kedirgantaraan) sudah tidak bisa diragukan lagi, baik di dalam maupun di luar negeri. Maklum, rekam jejak Presiden RI Ketiga ini di teknologi dirgantara mendapatkan apresiasi yang sangat besar di dunia internasional. Wajar jika sosok yang juga dikenal sebagai “Manusia Multidimensional” pernah dianugerahi medali penghargaan Theodore van Karman. Sebuah anugerah bergengsi di tingkat internasional tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.

Nama Habibie begitu dikenal di Jerman sebelum kembali ke Indonesia dan mempunyai peran besar dalam membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) di masa keemasannya. Kini, IPTN yang bernama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) seakan nyaris tak terdengar kehebatannya. Di industri dirgantara dunia, Habibie dikenal sebagai Mr Crack, karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang. Tak heran di dunia pesawat terbang, beberapa rumusan teori Habibie dikenal dengan sebutan “Habibie Factor”, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method”.

Karena sumbangsih Habibie, para insinyur dan produsen pesawat bisa mendeteksi retakan (crack) sejak dini dengan penentuan titik crack. Sebelum titik crack ditemukan, para insinyur mengantisipasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatan (SF). Habibie Factor berperan besar dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Dengan begitu, sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun. Sejumlah teori Habibie di bidang kedirgantaraan menjadi satu bukti bahwa dirinya adalah ilmuwan dirgantara yang berjasa dalam pengembangan dan desain pesawat. Karena itu, pada peringatan Tahun Emas (Golden Jubilee) berdirinya Organisasi Penerbangan Sipil bentukan PBB (The International Civil Aviation Organization/ ICAO) di Montreal, Kanada, pada 7 Desember 1994, Habibie dianugerahi medali Edward Warner Award yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang didampingi Sekretaris Jenderal PBB saat itu Boutros Boutros Ghali. “Ini membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China,” tegas Habibie dalam pidatonya.

Sosok yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun itu (1978–1998) pernah berkarier Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Di perusahaan ini Habibie pernah menduduki posisi wakil presiden bidang teknologi. Pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan 25 Juni 1936 ini menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman itu.

Pada 1974 saat berusia 38 tahun, pria yang menghabiskan 10 tahun menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman ini kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto. Saat mengembangkan industri dirgantara nasional, Habibie menciptakan N-250 yang terbang perdana (first flight) pada 1995 dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Sayangnya, setelah krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998, pengembangan pesawat N-250 mati suri.

Saat krisi suntikan dana proyek pesawat Gatotkaca N-250 besutan PTDI dihentikan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF). Sejak itu, industri dirgantara Indonesia tiarap. Padahal, saat pesawat N-250 diluncurkan pertama kali pada 10 Agustus 1995 silam, hal itu menjadi penanda dimulainya kejayaan industri pesawat terbang di Tanah Air. Saat itu, IPTN menjadi satu satunya produsen pesawat terbang yang berada di kawasan ASEAN. “Produk pesawat terbang, produk kapal laut, dan produk kereta api–yang pernah kita rancang bangun–dalam euforia reformasi telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedang dalam proses penutupan,” tegas Habibie.

Maka, pada 2012 silam, pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, ini tergugah untuk menghidupkan kembali pengembangan N-250 sebagai bentuk optimisme baru bagi bangkitnya industri dirgantara buatan anak bangsa. Rencananya, pesawat regional komuter turboprop itu akan didesain ulang. Gagasan tersebut tercetus karena mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi di era Presiden Soeharto ini prihatin menyaksikan PT DI mangkrak setelah krisis 1998.

Padahal, kemampuan anak bangsa menciptakan pesawat terbang bukan isapan jempol belaka. “Banyak pesawat yang harusnya dalam perakitan di hanggar PT DI, tapi faktanya terkesan mangkrak. Perusahaan negara pembuat pesawat ini sunyi, tak banyak aktivitas meski hari kerja,” kata Habibie saat pada acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) di Gedung Sate Bandung, Agustus 2012 silam. (Sumber : Koran Sindo, 13 Januari 2014, disesuaikan seperlunya)
10. Istilah sumbangsih pada paragraf ketiga bacaan di atas dapat diartikan sebagai …

Your score is

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *