Try Out SNBT 2025 Literasi Bahasa Indonesia 10

48

Try Out SNBT 2025 Literasi Bahasa Indonesia 10

Ada 10 soal dengan waktu 14 menit. Kerjakan dengan jujur karena ini bagian dari evaluasi.

The number of attempts remaining is 3

Isi dulu data diri yaah

1 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
1. Menurut penulis, wabah koleksi lukisan di Indonesia disebabkan oleh

2 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
2. Maraknya pemalsuan lukisan di Indonesia disebabkan berusaha memiliki

3 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
3. Mana yang paling disetujui penulis: Heborn dan Goller berubah dari

4 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
4. Paragraf pertama yang dipilih penulis intinya bercerita tentang

5 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
5. Keahlian Mecegeren yang dipamerkan kepada publik adalah melakukan

6 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
6. Mana yang paling tepat menggambarkan harapan penulis terhadap para seniman yang tidak
ternama? mereka memalsu

7 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
7. Masalah utama yang menjadi perhatian bacaan ini adalah masalah

8 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
8. Dari bacaan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam meneliti keaslian karya seni, para
pakar seni menggunakan pendekatan

9 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
9. Dengan pernyataan yang mana penulis paling setuju?

10 / 10

BACAAN I
Mencubit, setidaknya menurut sejumlah mahasiswa seni rupa di Paris, diartikan “meledek” para
pakar atau sekelompok professional yang sering meletakkan diri seolah-olah sebagai satu
satunya si “pintar” yang otoritas dan pendapatannya harus dijunjung tinggi. Para pakar itu bisa
kritikus, curator, atau ahli aspek seni yang acapkali tinggi hati dengan teori, dan berbekal sarat
dengan sederet referensi. Para peledek ini membuat reproduksi patung Modigliani yang
kabarnya hilang. Setelah ditenggelamkan beberapa lama di sungai seine, dan diterpa aliran air
beberapa hari, patung itu “ditemukan”. Siapa yang heboh duluan? Ya, para pakar itu.
Berminggu-minggu mereka meneliti dan berdiskusi berapi-api. Akhirnya para mahasiswa itu
mengaku, bahwa patung tersebut bikinan mereka, alias patung palsu. Mereka terbahak, dan
jajaran pakar hebat pun malu.

Ulah lain lagi dilakukan oleh Eric Heborn dan Christian Goller. Didasari pembelotan terhadap
tradisi kultus kesenian yang menyebabkan harga karya seni melangit tidak masuk akal, mereka
membuat karya tiruan. Protes dua imitator canggih ini berubah menjadi niat criminal murni yang
ujung-ujungnya duit. Ratusal tulisan Chagall sampai Picasso pun dicipta dan dilikuidasikan.

Lain lagi dengan Han Van Meegeren yang piawai merehabilitasi karya-karya Jan Vermeer.
Bermula dari kebanggan memamerkan keahliannya kepada publik, ia merasa tidak adil bila
tidak dihargai dengan kekayaan. Sebelum ditemukan sistem deteksi spektrometri fluoresensi
sinar X dan scanning electron microscope yang bisa membesarkan dua puluh ribu kali, sulit
mencurigai karya palsu Meegeren. Ia sanggup mengolah dan memanipulasi pigmen, isotope
timah, lapis lazuli dalam cat, nyaris seperti karya asli. Cukup banyak pembeli yang terkecoh,
sebelum pemalsu itu dibekuk polisi.

Inisiatif untuk membuat reproduksi dengan teknologi tinggi dilakukan oleh CMC (Century Master
Collection) yang berkedudukan di Jerman. Reproduksi lukisan dengan sinar laser
menghadirkan texture nyata di atas kanvas, sehingga lukisan Ruben yang halus, karya Frans
Hals yang semi tekstural, sampai Van Gogh yang kasar muncul senyatanya. Produk ini sangat
populer. Gagasan lain diilhami oleh lukisan oleh lukisan lukisan asli tetapi palsu, yang dilakukan
oleh organisasi yang menciptakan nama komersial lewat ratusan repainting Monalisanya
Leonardo da Vinci. Le use Imaginaire, lembaga yang menjadi agen resmi, memancarkan dan
menjual produk repainting ke seluruh dunia. Kini tak kurang dan selebriti Roger Moore, Liz
Taylor, Amold Schwarzenegger, sampai keluarga kerajaan Monaco menggantungnya dengan
bangga. Mereka sadar benar bahwa itu imitasi. Mereka beranggapan lebih baik menyimpan
karya imitasi (bukan palsu) yang bagus daripada mengoleksi karya asli namun buruk.

Boom sensasional yang didahului oleh gairah kolektor Jepang yang menguasai yendaka,
merangsang dan mewabah antusiasme peminat seni di banyak Negara, termasuk Indonesia.
Menggelembungnya hasrat mengoleksi karya-karya ciptaan para maestro, mendongkrak
practise, dan ketinggian apresiasi seni menjadi indicator. Reproduksi dan repainting kurang
bergengsi. Kolesterol seni ternyata membutuhkan jejak-jejak sapuan kuas asli. Akhirnya, mata
uang yang bergelimang dalam transaksi bursa seni lukis yang astaga mahalnya, membuat seru
merebakkan lukisan palsu.

Di Indonesia kini semakin marak lukisan palsu. Pameran dan lelang menghadirkan
gambar-gambar palsu berkualitas murahan dan tentu saja memerlukan. Apakah tidak mungkin
para peniru lukisan dikumpulkan, dan diarahkan menjadi repainter yang piawai? Dunia seni
rupa Indonesia sedang tumbuh apik, sungguh tidak ingin terkontaminasi sifat-sifat rendah yang
koruptif. Jangan jebloskan orang yang bisa membuat lukisan (namun tak punya gagasan) ke
dalam lorong penuh taring setan.
10. Nuansa bacaan ini terhadap kepakaran “pengamat/pakar seni rupa” dapat digambarkan
sebagai:

Your score is

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *